24 Juni 2018 – Hati Yang Membuahkan Kehendak Tuhan

Kejadian 6:5 Ketika dilihat TUHAN, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata,
 
Kehidupan pada zaman Nuh tidak jauh berbeda dengan kehidupan kita di akhir jaman ini. Moral manusia sangat merosot, kejahatan merajalela di mana-mana, sampai-sampai Tuhan sangat marah melihat dosa manusia saat itu. Ketika dilihat Tuhan, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, maka menyesallah Tuhan, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Dikatakan bahwa bumi itu telah rusak di hadapan Allah dan penuh dengan kekerasan. 
 
Jaman sekarang pun sama, setiap hari ada saja kasus kejahatan atau kekerasan yang terjadi di mana-mana. Saat membaca berita kita acapkali geleng-geleng kepala melihat berbagai berita setiap hari. Mulai dari penipuan, pembunuhan, pencurian, pertikaian, berita dusta, korupsi dan lain sebagainya. Semua kejahatan ini dimulai dari kecenderungan hati yang salah. Kecenderungan hati membuahkan perbuatan. Kecenderungan hati yang salah akan membuahkan perbuatan yang salah dan merugikan.
 
Pada ayat 5 dikatakan bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata. Kata “cenderung” (Ibr. yetser) memiliki makna: niat atau angan-angan. Kita harus benar-benar mengerti motivasi hati kita. Ketika hati kita berniat untuk melakukan “kehendakku sendiri”, artinya sesuatu yang belum terjadi namun sudah terlintas di hati kita untuk melakukan kehendak diri kita sendiri, maka kecenderungan hati yang seperti inilah yang tidak menyukakan hati Tuhan.
 
Inilah yang menjadi pesan Tuhan bagi kita. Tuhan melhat bahwa dari sejak jaman dahulu hingga sekarang betapa manusia mudah sekali jatuh ke dalam berbagai kejahatan. Kejahatan di mata Tuhan bukan semata-mata ketika seseorang sudah melakukan suatu tindak kejahatan seperti contoh-contoh yang telah disebutkan di atas sebelumnya, namun dimulai ketika seseorang mulai memiliki kecenderungan hati yang ingin melakukan kehendak dirinya sendiri dan bukan apa yang Tuhan kehendaki.
 
Namun hal ini tidak berlaku bagi Nuh. Dia tetap mampu menjaga kesucian hidupnya di tengah-tengah kehidupan manusia yang menyimpang dari jalan-jalan Tuhan. Nuh membuat pilihan hidup, yaitu bergaul dengan Allah, suatu kualitas atau standar hidup yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang percaya. Dalam pergaulannya dengan Tuhan, Nuh menangkap kehendak Allah yang harus ia genapi, yaitu membangun sebuah bahtera. Itulah kehendak Tuhan yang harus ia lakukan. Maka sepanjang hari-hari hidupnya, yang ada di hatinya adalah kehendak Tuhan dan bagaimana ia harus menyelesaikan kehendak Tuhan di bumi.
 
Apa yang membuat Nuh memiliki hati yang menangkap kehendak Tuhan?
 
(1). Nuh tidak mau menyia-nyiakan kasih karunia Allah terhadap dirinya
 
Kej. 6:8 Tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN.
 
Dunia boleh rusak, tapi ternyata Nuh tidak ikut-ikutan terseret arus penyesatan dan penyimpangan seperti apa yang terjadi di sekelilingnya. Mudahkah bagi Nuh untuk bisa mempertahankan diri dari segala kejahatan dunia? Tentu tidak. Layaknya kita yang hidup di tengah-tengah dunia yang jahat, demikian pula Nuh saat itu hidup di tengah kemerosotan moral dan rohani yang begitu parah. Seperti kita, Nuh pun pasti mengalami saat-saat dimana ia bisa jatuh terseret ke dalam dosa. Namun nyatanya Nuh tetap bisa hidup dengan benar, tetap hidup tidak bercela, bahkan dikatakan bahwa ia hidup bergaul dengan Allah.   
 
Mengapa Nuh disebut ‘orang yang benar’? Karena ia mendapat kasih karunia Allah. Bukan karena ia bermoral. Bukan karena ia memiliki bibit moral yang baik. Tetapi karena dalam dunia yang sarat dosa, Allah dalam kedaulatan-Nya memutuskan untuk tidak menghakimi Nuh seperti orang-orang sejamannya, melainkan menyatakan kasih karunia-Nya. Ia disebut orang benar, karena Ia ‘dibenarkan’ oleh Allah. Posisi Nuh sebetulnya sama dengan posisi kita sebagai orang percaya. Kita dipilih bukan karena kita lebih baik dari orang lain, melainkan karena kasih karunia Tuhan semata-mata. 
 
(2). Nuh sadar bahwa mendekat kepada Tuhan adalah sebuah hak istimewa
 
Kej. 6:9 Inilah riwayat Nuh: Nuh adalah seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya; dan Nuh itu hidup bergaul dengan Allah.
 
Kata “hidup bergaul” dalam bahasa Ibrani memakai kata ‘halak’, makna harfiahnya adalah berjalan dengan Allah secara konstan. Bergaul dengan Allah tidak selalu diartikan bahwa kita harus berada terus menerus di ruang doa, itu benar. Namun bergaul dengan Allah juga bisa dilakukan di mana pun juga. Jadi bergaul akrab dengan Allah menunjuk kepada sebuah hubungan yang sangat rahasia, sebuah persekutuan yang sangat dekat dengan Allah, berjalan di sisi Tuhan dalam kebenaran.
 
Pada waktu berjalan bersama seseorang, maka hal yang paling penting adalah arahnya sama. Kalau arahnya tidak sama, maka kita tidak bisa berjalan bersama. Demikian juga halnya dengan berjalan bersama Tuhan. Berjalan bersama Tuhan berarti kita sedang berjalan di dalam arah yang sama dengan arah-Nya Tuhan. Jika kita mengatakan bahwa kita berjalan bersama Allah namun tidak sejalan dengan Allah, maka kita sedang jalan sendirian. Kita pergi kemana Allah pergi, kita melakukan apa yang Allah lakukan. Bukan sebaliknya, kalau kita tidak pergi ke mana Allah pergi dan melakukan apa yang Allah tidak kerjakan, itu bukan bergaul dengan Allah.
 
Mari jemaat Tuhan, jadilah orang-orang yang berani tampil beda, yang berani melawan arus dunia, mendekat kepada Tuhan untuk menangkap kehendak-Nya. Kasih karunia Allah akan selalu siap dilimpahkan bagi setiap anak-anak-Nya.
 
Tuhan Yesus memberkati!

24 Juni 2018 – Hati Yang Membuahkan Kehendak Tuhan

| Warta Jemaat |
About The Author
-